Kamis, 03 November 2011

Kejahatan Perang Jepang di Perang Dunia kedua

Kisah Seorang Romusha Jawa

Setengah abad ia terdampar di perbatasan Thailand dan Burma,
sebagai bekas Romusha. Pemuda Jawa itu tak dendam pada Jepang.
Masih perlukah permintaan maaf?

Tahun 1943 pemuda Karja Wiredja meninggalkan desanya di
Matukara, Banjarnegara, Jawa Tengah, untuk menjadi romusha di
Thailand. Di benaknya mungkin tidak terpikir bahwa dia baru akan
kembali ke desanya 52 tahun kemudian. "Waktu itu lurah bilang
kita boleh ikut Nippon," kata Karja akhir bulan Juli yang lalu.
Maka berangkatlah pemuda lugu tersebut untuk jadi mandor
pembangunan rel kereta api sepanjang 415 kilometer antara Thai-
land dan Burma. Bayarannya, dua sen sehari. Selama sebulan kerja
Karja mendapat gaji enam rupiah.
Ketika Perang Dunia II berakhir dengan pemboman terhadap
Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, proyek yang memakan banyak korban
itu ditutup. Sekitar 300,000 tenaga kerja paksa yang masih hidup
dipulangkan ke Indonesia, Malaysia, Burma maupun negara-negara
barat seperti Australia, Inggris dan Belanda.
Sambil menunggu kapal yang akan membawanya kembali ke
Indonesia, Karja memanfaatkan waktu untuk berjalan-jalan. Keluar
dari barak para pekerja, "Banyak perempuan baik-baik, muda-muda
dan cakap-cakap," kata Karja (75) sambil tergelak dengan giginya
yang ompong.
Pemuda Karja yang mantan romusha, tampaknya pecinta yang
ulung. Buktinya, dia mampu kawin-cerai selama di Thailand selama
lima kali. Dan ini pula alasannya untuk kemudian terlambat kemba-
li ke Bangkok untuk pulang ke Indonesia.
"Dia ketinggalan kapal Red Cross International yang
berangkat ke Indonesia," kata Nagase Takashi dari River Kwai
Peace Temple and Foundation (Tokyo) yang membantu Karja pulang ke
Indonesia.
Menurut laporan koran West Australian (Perth) yang meli-
put kedatangan Karja, kehidupan panjang sebagai kuli perkebunan
dan tinggal di hutan, harus dijalani Karja bersama dengan dua
orang India, dua orang Malaysia, satu orang Singapura serta satu
orang Gurkha, yang sama-sama "pensiunan" romusha.
Sebagian besar dari yang ketinggalan kapal itu terisolasi
dari perkembangan dunia. Semua sudah meninggal, kecuali Karja,
yang kemudian atas upaya Takashi, bisa kembali ke kampungnya di
kaki Gunung Sindoro. Suatu reuni keluarga yang mengharukan.
Menurut Takashi (77), bekas opsir Jepang yang pernah
bertugas sebagai mata-mata di Jakarta dan penterjemah di Thai-
land, proyek rel kereta itu melibatkan 45,000 romusha Indonesia,
85,000 dari Malaysa (orang Cina, India maupun Melayu), 180,000
dari Burma serta 12,000 serdadu Jepang yang bertugas mengawasi
dan mengatur pekerjaan.
Selain romusha, proyek tersebut juga memperkerjakan
68,000 tawanan perang dari berbagai kebangsaan, terutama Inggris,
Belanda dan Australia. Dan dari semuanya, 100,000 di antaranya
meninggal dunia akibat malaria maupun kebrutalan serdadu Jepang.
Di antara 400,000 pekerja yang membangun jalan kereta api
itu juga terdapat Tom Uren, kini politisi terkemuka di Sydney,
Australia, yang mengatakan bahwa, pada masa awal menjadi tawanan
perang Jepang, "Saya ingin memusnahkan semua orang Jepang dari
muka bumi ini. Mereka sangat kejam dan suka menyiksa."
"Saya tidak pernah mencoba mendefinisikan kebrutalan
mereka karena kesadisan mereka sungguh luar biasa," kata Uren
kepada kantor berita Kyodo.
Kisah yang sama juga terjadi pada Harry Rynenberg, yang
menjadi tawanan perang Jepang di Indonesia, dan kini menjadi
ketua Australian Civilian Japanese War Repratriation Action
Group.
Rynenberg mewakili sekitar 900 orang anggotanya, laki-
laki maupun perempuan, yang pernah menjadi tenaga kerja paksa
maupun ianfu (wanita penghibur) serdadu Jepang. Bulan Agustus
ini, bertepatan dengan 50 tahun berakhirnya Perang Dunia II,
mereka menuntut ganti rugi serta permintaan maaf dari pemerintah
Jepang masing-masing US$16,000 (Rp 35 juta).
Selain itu, Rynenberg menekankan perlunya tuntutan terse-
but karena pemerintah Jepang tidak pernah memberikan informasi
yang memadai kepada rakyat Jepang tentang apa yang pernah mereka
lakukan pada tahun 1940-an.
Ketika dia sedang berada di Jepang, Rynenberg pernah
bertanya pada sekelompok anak muda tentang isu romusha maupun
ianfu, "Mereka ternyata tidak tahu apa-apa."
Sikap pemerintah dan Kaisar Jepang, baik Hirohito maupun
Akihito, yang berusaha menutup-nutupi pelanggaran hak-hak dasar
kaum sipil dalam Perang Dunia II inilah yang masih mengganjal dan
menguatirkan banyak negara di kawasan ini akan kemungkinan teru-
langinya ekspansionisme Jepang.
"Kami tidak pernah tahu tentang betapa kejamnya pasukan
kami pada jaman Perang Dunia II. Saya baru tahu itu semua ketika
saya ikut suami saya ke Jakarta," kata seorang ibu rumah tangga
Jepang yang bersuamikan orang Indonesia.
Menurutnya, pelajaran sejarah di Jepang tidak pernah
menyinggung akibat-akibat dari Perang Dunia II, tentang ratusan
ribu romusha di Thailand-Burma, tentang ribuan perempuan Cina,
Korea, Indonesia, Inggris, Australia maupun Belanda yang dijadi-
kan wanita penghibur yang sehari-harinya harus melayani --tepatn-
ya diperkosa-- oleh lebih dari sepuluh serdadu Jepang.
Selain itu, pemerintah Jepang menutup mata terhadap
orang-orang semacam Karja Wiredja yang selama berpuluh-puluh
tahun tertinggal di hutan-hutan karena terlalu miskin, dan terka-
dang takut, untuk kembali ke daerah asal mereka.
Ketika mendarat di lapangan udara Adisucipto, Yogyakarta,
Karja yang mengenakan sepatu karet alam, jaket lusuh, kaos warna
hijau tua serta celana tua yang riutsletingnya sudah rusak,
ternyata sudah tidak bisa mengenali Yogyakarta.
"Bangunan-bangunan tak sebanyak ini," katanya dalam logat
Melayu pasar tahun 1940-an. Menurut Karja, dia sebenarnya rindu
untuk pulang kampung melihat saudara-saudara dan menengok kuburan
kedua orang tuanya. Tetapi Karja tidak punya uang, buat makan
saja sulit.
Pemerintah Jepang juga tidak pernah menggubris tekanan-
tekanan dari berbagai organisasi non-pemerintah untuk memperhati-
kan dan minta maaf pada orang semacam Karja, tetapi mereka bersi-
keras bahwa pampasan perang sudah dibayar (Presiden Sukarno
membangun Hotel Indonesia, Gedung Sarinah dan beberapa proyek
lain dengan uang tersebut).
Mengapa rakyat Jepang tidak menuntut pemerintahnya?
"Karena mereka tidak tahu," ujar Takashi yang menyesal karena
pernah terlibat dalam penindasan rakyat Asia Tenggara, Tiongkok
dan Korea.
"Tetapi waktu itu kami berpikir bahwa kami memang berke-
hendak membebaskan Asia dari kolonialisme Barat. Saya baru sadar
ketika bertugas di Thailand dan melihat kekejaman serdadu Jepang
di proyek kereta api," katanya sedih.
Ketika ditanya mengapa pemerintah Jepang tidak minta
maaf, dengan cepat dan emosional Takashi menjawab, "Tanyakan pada
kaisar. Orang itu yang menentukan. Kaisar tidak pernah mau minta
maaf."
Tetapi buat Tom Uren (74), persoalannya tidak sesederhana
itu. Menurut Uren, tahun terakhir dari 3.5 tahun masa tahanannya,
Uren ditempatkan untuk bekerja paksa di daerah Saganoseki,
Kyushu, Jepang.
Disana Uren bekerja bersama orang Korea maupun orang
Jepang, "Saat itu kami mendapat pengertian yang lebih mendalam.
Kami sama-sama ingin perang berakhir dan para pekerja Jepang juga
sangat simpati terhadap mereka yang sakit dan lemah."
Uren mengatakan bahwa saat ini dia sudah tidak membenci
orang Jepang lagi, tetapi tidak dengan militerisme dan fasisme,
"Saya tidak ingin berdebat lagi soal perlunya permintaan maaf
atau tidak --itu hal yang permukaan," katanya, "Yang perlu,
pemerintah Jepang harus mengakui perbuatan-perbuatan kriminal
yang dilakukan oleh pihak militer mereka antara tahun 1930-an dan
1940-an."
"Dan sistem pendidikan mereka juga harus menginformasikan
kepada generasi muda perbuatan barbar dan tidak berperikemanu-
siaan yang pernah dilakukan generasi terdahulu. Masalah ini tidak
seharusnya didiamkan dan disembunyikan di bawah karpet," kata
Uren.
Karja sendiri, dengan lugu, mengatakan bahwa semuanya
sudah berakhir tanpa kebencian pada Jepang. "Nippon itu baik-
baik, saya dikasih uang seperti sekarang ini," katanya menunjuk
pada Takashi. (Suara INDEPENDEN)

Source : http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/...09/02/0000.html

0 komentar:

Posting Komentar

Reader Community

Search

Photo Gallery

Search