Tidak diragukan, di dalam pemikiran banyak orang persoalan perang dan hati nurani Kristen telah menjadi suatu isu yang telah lama berada. Bila seseorang ditanya mengenai perang, sebagian orang akan memberikan jawaban dan penjelasan dengan didasari teori mengenai perang yang dibenarkan. Bagaimana sejarah teori ini terwujud? Apa yang menyebabkan suatu peperangan dapat diperbolehkan dari segi moral, etika, dan iman? Apakah teori ini masih dapat diterapkan di dalam peperangan di jaman modern ini? Apakah argumen-argumen yang dapat membenarkan dan menentang akan perang yang diperbolehkan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang saya akan jawab di dalam artikel saya kali ini.

Definisi ‘perang’

Sebelum kita masuk dan membahas mengenaiperang yang dibenarkan, setiap kita harus terlebih dahulu mengerti tentang definisi yang benar mengenai arti ‘perang’. Perang berarti: “War defined as a state of konflik between two or more sovereign nations carried on by force of arms.” (John A. McHugh, O.P. dan Charles J. Callan, O.P., Moral teology: A Complete Course, vol. 1, 545). Melihat lebih teliti mengenai definisi ‘perang’ yang telah didefinisikan tsb, perang haruslah menyangkut konflik antara dua negara atau lebih — yang dikontraskan dengan konflik laju seperti ‘border skirmishes‘, atau konflik-konflik yang sifatnya sementara. Perang harus melibatkan negara yang berkuasa, di mana peraturan sipil dilanggar dan di mana terjadi demonstrasi-demonstrasi. Juga, (perang harus melibatkan) suatu negara yang berjuang melawan negara lain — dan bukan untuk seseorang yang sifatnya individu ataupun untuk suatu kelompok di dalam negara yang bersangkutan. ‘Force of arms‘ mengecualikan beberapa hal, misalnya embargo dagang ataupun blokade-blokade. Ini mencapai landasan yang mendasari suatu langkah peperangan.

Asal mula ‘teori perang yang diperbolehkan

Sebagian besar kaum intelektual, filosof, dan/ataupun teolog sependapat bahwa “St. Agustinus adalah pencetus teori perang yang diperbolehkan.” (The New Catholic Encyclopedia vol. 14. “Morality of war,” oleh R.A. McCormick, 803). Bila suatu masalah menyangkut pembelaan diri yang bersifat ‘pribadi’, St.Agustinus menegaskan bahwa: pembelaan nyawa sendiri (own life) dan properti tidak akan dapat dan tidak pernah dapat membenarkan pembunuhan terhadap sesama. Kasih, etika, dan moral Kristen adalah motivasi yang mendasari pernyataan St.Agustinus tersebut. Tetapi bila suatu masalah menyangkut kenegaraan, suatu negara mempunyai obligasi untuk me-maintain keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Obligasi inilah yang mendasari suatu negara mempunyai hak untuk mendeklarasikan peperangan. St. Thomas Aquinas, teolog dan filosof terbesar di dalam sejarah manusia berkata, “The natural order conducive to peace among mortals demands that the power to declare and counsel war should be in the hands of those who hold the supreme authority.” (Summa teologiae, Vol. 3, IiaIIaeQQ. 1-148) Seluruh rakyat di bawah naungan suatu negara wajib menurut pada segala peraturan yang ditetapkan oleh pemerintahan, kecuali mengenai hal-hal yang bertentangan dengan ‘Hukum Allah’. Bagi St. Agustinus, satu-satunya alasan yang dapat membenarkan suatu peperangan adalah untuk membela suatu bangsa dengan tujuan kedamaian — kedamaian yang terancam oleh kehancuran yang serius. Dia berkata, “A just war is wont to be described as one that avenges wrongs inflicted by its subjects, or to restore what it has seized unjustly.” (ibid.). Motivasi bagi suatu peperangan sangatlah penting bagi St. Agustinus. Dia berkata, “The passion for inflicting harm, the cruel thrist for vengeance, an unspecific and relentless spirit, the fever of revolt, the lust of power, and such things, all these are rightly condemned in war.” (Ibid.). St. Agustinus menekankan bahwa ide untuk merestorasi keamanan haruslah menjadi dasar dan motivasi bagi perang. Dia berkata, “We do not seek peace in order to be at war, but we go to war that we may have peace. Be peaceful, therefore, in warring, so that you may vanquish those whom you war against, and bring them to the prosperity of peace.” (Ibid.). Dari pada itu, St. Agustinus berpendapat bahwa “peperangan terbatas oleh intensi (maksud), otorias dan cara menerapkannya.” (New Catholic Encyclopedia, 803)

Pengembangannya oleh St. Thomas Aquinas dan di abad pertengahan

Penegasan dan penjelasan mengenai teori perang yang dibolehkan diberikan oleh St. Thomas Aquinas, teolog and filosof yang lahir pada abad pertengahan, yang dikenal sebagai “Angelic Doctor of the Church“. Dia menegaskan pernyataan St. Augustinus mengenai ‘perang’ dan menambahkan sedikit penjelasan kepadanya. Dia mengambil cara pemikiran yang sama untuk memecahkan argumen mengenai topik ini dengan cara membagi tiga alasan yang wajib untuk perang yang diperbolehkan: 1) ‘authorized authority‘, 2) sebab yang adil, dan 3) motivasi yang benar. Di dalam membahas mengenai siapa yang mempunyai hak untuk mendeklarasikan suatu peperangan, St. Thomas menekankan bahwa otoritas yang mempunyai kewajiban akan kesejahteraan rakyatnya-lah yang wajib untuk mempunyai tugas ini. Hanya mereka yang dapat menyatakan deklarasi perang. St. Thomas mengkonsiderasikan alasan-alasan, “bagi mereka yang menyerang, haruslah diserang karena mereka bertanggung jawab akan suatu kesalahan.” (Aquinas, 1354). Pada akhirnya, St. Thomas mendiskusikan mengenai arti ‘niat yang benar’ untuk dasar peperangan. Menurutnya, hanya dua kemungkinan: 1) untuk mengemban kebaikan, atau, 2) untuk menghidari kehancuran. Garis dasar argumen-argumen ini dan merupakan yang terpenting untuk kontribusinya kepada teori St.Agustinus, “would appear to consist in his stress on the natural law.” (New Catholic Encyclopedia, 803.)
Abad pertengahan diduduki oleh kebanyakan mereka yang membenarkan peperangan dan memperbaiki keamanan melalui ‘mercy‘ dan ‘justice‘. Sesudah St.Thomas, penulis-penulis dan banyak para teolog moral, seperti St. Ramon dari Penafort, hanyalah menerapkan posisi argumen ini. Kebanyakan dari mereka hanya memfokuskan kepada para otoritas spesifik kenegaraan dan penerapannya dengan ajaran St.Thomas, ‘alasan yang benar’ dan ‘motivasi yang benar’.

Perkembangan secara penuh mengenai teori ini

Meskipun St.Agustinus, yang memperkenalkan ide mengenai teori perang yang diperbolehkan, pada abad pertengahan lalu melanjutkan mengenai ’sifat dan syarat’-nya, sampai sekitar abad ke-16 dan ke-17 teori ini belum menjadi lengkap dan selesai, termasuk mengenai syarat yang dibenarkan untuk menyatakan suatu peperangan. Dua nama yang sangat penting untuk penyelesaian mengenai teori ini adalah Victoria dan SuarezFr. Conway, SJ, menyaring ajaran mereka. Pertentangan dibagi menjadi dua kelas: 1) penyerangan bersenjata kepada suatu negara yang aman, dan, 2) penyerangan bersenjata karena perbuatan-perbuatan yang bersifat menghancurkan dan mencederakan. Kelas yang pertama adalah respon bersenjata terhadap mereka yang bersenjata — ini dinamakan “defensive war“. Peperangan tipe ini dikategorikan dari kelas yang kedua, yaitu respon bersenjata terhadap mereka yang membuat kecederaan ataupun kehancuran disebut sebagai ‘offensive‘ ataupun ‘peperangan agresif’. Menurut Victoria dan Suarez, ‘defensive war‘ memerlukan “no special moral justification.” (Ibid.). Keduanya melihat respon bersenjata ini sebagai perbuatan yang tak berencana (involuntary) terhadap suatu negara. Di sisi lain, menurut keduanya, ‘peperangan agresif’ perlu untuk ‘dibenarkan’. Problem yang timbul di sini adalah: bagi Kristen yang menginginkan ‘kasih’ dan ‘kedamaian’, tetapi meresponinya dengan kematiaan dan kehancuran? Jadi, tujuan dari kondisi-kondisi ini adalah untuk para Kristiani yang meresponi perbuatan/serangan-serangan yang menghancurkan, tetapi tetap memelihara Christian values. Jadi bagi mereka, kondisi bagi perang yang dapat dibenarkan hanya dapat digunakan kepada ‘aggressive wars‘. Tiga syarat-syarat St. Thomas digunakan oleh teori mereka. Tetapi mereka menambahkan dua hal lagi: 1) Peperangan haruslah sebagai jalan dan upaya yang terakhir; dan 2) peperangan tidak boleh membunuh dan mengorbankan yang tidak bersalah (atau, in ‘a proper manner’).